Tuesday, 1 April 2025

Jala, Sungai, dan Kenangan

 



Matahari masih malu-malu muncul di ufuk timur ketika kami sudah bersiap-siap masuk ke dalam perahu. Embun pagi masih melekat di daun-daun, dan udara dingin membelai wajah kami. Ayah, seperti biasa, sudah mengikat jala di bahunya, sementara ibu sibuk mengemas bekal yang akan kami bawa. Aku dan adik-adikku melompat-lompat kegirangan, tidak sabar menunggu saat untuk melihat jala dilabuhkan ke air.

Sungai itu bukan sekadar tempat mencari rezeki, tetapi juga medan kenangan yang tak akan luput dari ingatan. Setiap kali kami ke sini, ayah akan bercerita tentang bagaimana dia belajar menjala daripada datuk kami, yang katanya, memiliki ‘tangan emas’—sekali jala dilepaskan, pasti ada hasilnya. Aku selalu berharap suatu hari nanti, aku juga akan mewarisi kehebatan itu.

Ayah turun perlahan ke gigi air, mengamati arus sungai sebelum melemparkan jala dengan penuh gaya. Bunyi ‘plup’ ketika jala menyentuh permukaan air membuat kami semua terpaku. Beberapa saat menunggu terasa begitu mendebarkan. Bila jala ditarik semula, kami semua bersorak—ada beberapa ekor ikan yang terperangkap! Wajah ayah berseri-seri, dan ibu pun tersenyum puas.

Selepas beberapa kali melabuhkan jala, kami berhenti sebentar untuk menikmati bekal yang ibu bawa—nasi bungkus dengan sambal ikan bilis yang pedas menyengat. Makan beramai-ramai di tepi sungai, ditemani bunyi gemericik air dan kicauan burung, adalah saat yang paling membahagiakan.

Petang itu, sebelum pulang, ayah mengajarku cara melempar jala. Aku mencuba berkali-kali, tetapi jalaku tidak pernah terbuka dengan sempurna. Ayah hanya ketawa dan menepuk bahuku. "Jangan risau, nak. Kemahiran ni datang dengan masa," katanya. Kata-kata itu masih terngiang di telingaku hingga kini.

Hari ini, setiap kali aku pulang ke kampung dan melihat sungai itu, kenangan lama kembali mengusik hati. Ayah sudah tiada, dan kami tidak lagi kerap turun menjala seperti dulu. Hanya abangku yang masih gagah turun ke sungai. Tetapi dalam ingatan, detik-detik indah bersama ayah itu tetap segar, seolah-olah baru semalam kami bergelak tawa di tepi sungai. Rasa rindu yang kuat bertandang di hati. Andai masa itu dapat diputar kembali. Namun, semuanya hanya mimpi. Hidup ini harus terus ditempuhi. Dalam hati, aku berjanji, akan mencipta banyak memori bersama anak-anakku, agar suatu hari nanti, mereka juga merindui ku seperti aku merindui ayahku. 

No comments:

Post a Comment